Liputan6.com, Jakarta - Advokat Senior Maqdir Ismail memandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan pasal karet dalam menjerat mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Kader Partai Golkar ini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK atas kasus korupsi suap PLTU Riau-1.
"Sampai sekarang saya belum tahu Pak Idrus dianggap tersangkut sejak kapan? Pasal itu, hanya bisa digunakan ke penyelenggara negara. Proyek ini sejak kapan ya? 2015. Beliau jadi penyelenggara negara kalau saya tidak keliru Maret atau April atau Februari 2018. Harusnya dilihat itu," kata Maqdir dalam diskusi di Gado-gado Boplo, Jakarta Pusat, Sabtu (1/9/2018).
Dia menerangkan, mestinya tidak ada ketentuan dari Undang-undang yang bisa menjerat secara pribadi bila Idrus Marham disangkakan lantaran sebagai sekjen partai.
"Kalau kita kembali ke belakang, baca keterangan KPK dan Idrus, ini lebih berpangkal pada adanya janji untuk memberikan hadiah kepada Eni atau melalui Eni dengan proyek di Riau," terang dia.
Menurutnya, yang jadi permasalahan ialah soal pidana hukum korupsi yang disangkakan ke Idrus yakni Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Tipikor karena hadiah yang dilarang atau janji. Karena, menurutnya, segala janji ke penyelenggara negara dalam pikiran bisa dikenakan pasal tersebut.
"Pasal karet ini begitu banyak digunakan untuk menjerat penyelenggara negara. Pihak KPK sejak perkara Irman Gusman atau Presiden PKS kan ditarik ke arah itu trading influence. Kalau Idrus apa masuk ke trading influence atau memang ada janji-janji yang sudah diberikan lebih dulu kepada beliau atau ke Bu Eni karena yang disangkakan Pasal 56 juga adalah orang yang memberikan bantuan," pungkas dia.
Seperti diketahui, Idrus dijerat oleh KPK dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncta Pasal 55 ayat (1) kel KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHPJuncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam Pasal 11 UU Tipikor berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya".
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini
from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2MFrr3x
No comments:
Post a Comment