Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengingatkan bahwa people power atau unjuk rasa dalam skala besar ada mekanismenya. Jika ajakan people power tak sesuai dengan mekanisme yang berlaku, maka dapat dianggap makar.
Tito menjelaskan, jika ada klaim kecurangan dalam Pemilu 2019 dan disikapi dengan sejumlah aksi, aksi tersebut diperbolehkan sepanjang sesuai dengan UU tahun 1998 yang mengatur kebebasan berekspresi.
UU ini juga mengadopsi ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dimana diatur ada empat pembatasan yaitu tidak mengganggu ketertiban publik, tidak mengganggu hak asasi, etika dan tidak boleh mengancam keamanan nasional.
Dalam UU, pembatasan ini diterjemahkan dalam Pasal 6 dimana setiap aksi tidak boleh mengganggu HAM, mengganggu publik, mengindahkan etika moral, persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau melanggar poin Pasal 6 maka itu akan dapat dibubarkan. Itu diatur dalam Pasal 15. Pelanggaran dalam Pasal 6, pelanggar hukum dapat dibubarkan," jelas Tito Karnavian saat rapat dengan Komite I DPD RI, di Gedung Nusantara V, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019).
Jika dalam proses pembubaran pelaku aksi melakukan perlawanan terhadap petugas yang sah, cara penanganan telah diatur dalam KUHP dimana bisa dikenakan pidana. Mekanisme unjuk rasa juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2012.
"Ada batasan-batasan yang tidak diperbolehkan, mengganggu ketenangan umum, mengganggu pemerintah. Secara rigid harus dikoordinasi jam berapa sampai jam berapa. Ini harus melalui koordinasi, enggak bisa disebar lewat WA disebar kumpul di tempat ini. Unjuk rasa harus diberi tahu dulu. Harus ada surat, nanti Polri lakukan tanda terima. Kalau itu tidak diindahkan, kita lakukan SOP mulai dari yang soft sampai hard. Sesuai keperluannya," jelas Kapolri.
Jika terjadi makar, penegak hukum dengan bantuan unsur lain seperti TNI akan melakukan penegakan.
"Kalau ternyata memprovokasi, atau menghasut untuk upaya pidana, misalnya makar itu pidana. Kalau ada provokasi dilakukan makar itu ada aturan sendiri UU Nomor 46 Pasal 14 dan 15 atau menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Misal bilang kecurangan tapi buktinya tidak jelas, lalu terjadi keonaran, maka masyarakat terprovokasi. Maka yang melakukan bisa digunakan pasal itu, ini seperti kasus yang sedang berlangsung, mohon maaf, tanpa mengurangi praduga tak bersalah, kasus Ratna Sarumpaet. Itu menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran," pungkas Tito Karnavian.
Reporter: Hari Ariyanti
from Berita Terkini, Kabar Terbaru Hari Ini Indonesia dan Dunia - Liputan6.com http://bit.ly/2LtUirb
No comments:
Post a Comment