Liputan6.com, Jakarta - Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid tutup usia pada Senin, 29 Agustus 2005 atau 14 tahun silam. Dia menghembuskan nafas terakhir pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Nurcholish Madjid atau akrab disapa Cak Nur meninggal dunia akibat penyakit hati yang dideritanya. Saat itu, jenazahnya disemayamkan di Universitas Paramadina Jalan Gatot Subroto, Jaksel, sedangkan pemakaman dilaksanakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sebelum dirawat di Ruang 4430 RS Pondok Indah sejak 15 Agustus silam, Cak Nur menjalani operasi transplantasi hati di Guangdong, China. Meski operasi berjalan sukses belakangan terjadi infeksi pada hatinya sehingga kesehatan pria kelahiran Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 itu kembali memburuk.
Cak Nur masih menjabat Rektor Universitas Paramadina saat sakit dan dirawat di National University Hospital, Singapura.
Cak Nur bukan sosok baru di kalangan intelektual Islam Indonesia. Dalam kurun tiga puluh terakhir, Cak Nur selalu terdepan dalam mengemukakan buah pikiran tentang gerakan pembaruan pemikiran Islam di Tanah Air.
Cak Nur lahir dari lingkungan santri. Sang ayah, Haji Abdul Madjid adalah pemilik sekaligus guru di Madrasah Al Wathaniah di Mojoanyar. Sewaktu kecil, ia pernah bercita-cita menjadi masinis kereta api. Keinginan itu memang tak terwujud. Tapi, Cak Nur justru menjadi terkenal karena melahirkan pemikiran dan aktivitas pendidikan semasa hidupnya.
Pendidikan yang pernah ia tempuh antara lain Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Pesantren Darul `Ulum di Rejoso, Jombang, dan KMI (Kulliyatul Mu`allimin al-Islamiyyah) Pesantren Darussalam di Gontor, Ponorogo.
Selanjutnya, Nurcholish Madjid kuliah di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta dengan meraih gelar sarjana Sastra Arab (1968). Ayah dari Nadia dan Ahmad Mikail itu mengambil gelar doktor filsafat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (1984).
Perpaduan pendidikan modern dan pesantren itu sangat mempengaruhi pola pikir Cak Nur. Bahkan, ia mendapat julukan "Muhammad Natsir muda" karena kerap membuat geger tentang gagasan modernisme dan sekularisme.
Pemikiran Cak Nur yang dinilai menggemparkan saat ia mengemukakan slogan "Islam Yes Partai Islam No", pada awal 1970-an. Kala itu, Cak Nur menganggap partai-partai Islam disakralkan dan bahkan menjadi "Tuhan" baru bagi kalangan muslim.
Dia kemudian menawarkan tradisi baru bahwa dalam demokrasi umat Islam tak harus bersatu dalam organisasi berlandaskan keyakinan, tapi lebih kepada konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Dalam perdebatan segitiga dengan Amien Rais dan Muhammad Roem, Cak Nur juga menguatkan gagasan "tidak ada negara Islam". Alasannya, pendidikan Islam tidak mengajarkan secara mutlak pembentukan negara Islam.
Pada 1997, ketika akar Golkar tengah kuat-kuatnya, Cak Nur memilih berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dari sinilah penilaian terhadap Cak Nur bergeser. Keterlibatan dalam partai politik dianggap bertentangan dengan gagasannya.
Namun, bukan Cak Nur jika tak punya jawaban jitu. Suami dari Omi Komaria ini menjawab kebingungan publik: "Karena Golkar telah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang sehingga perlu ada penyeimbang,".
Belakangan saat itu mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode ini dianggap merapat kepada sumbu kekuasaan. Cak Nur dan korps alumni HMI bertemu mantan Presiden Soeharto untuk menerima Pancasila sebagai Azas Tunggal.
Menjelang Mei 1998, Cak Nur termasuk tokoh reformasi yang meminta penguasa tunggal itu mundur. Soeharto tetap mengundang Cak Nur ke Istana karena kritiknya dinilai masih santun. Namun, permintaan Soeharto agar Cak Nur memimpin gerakan reformasi ia tolak.
Setelah Orde Baru tumbang dan Indonesia dipimpin Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Cak Nur tetap mengeluarkan kritik pedas. Pengamat politik ini menilai pemerintahan Gus Dur tak berfungsi secara optimal. Penyebabnya, ternyata ada pada diri Gus Dur sebagai presiden.