Liputan6.com, Jakarta - Gema pesta olahraga bagi atlet penyandang disabilitas, Asian Para Games 2018 yang digelar di Jakarta, memang telah usai. Namun tidak dengan kobaran semangat salah seorang atlet renang disabilitas, Jendi Pangabean.
Sosoknya tentu tidak asing karena menghiasi plang hingga billboard Asian Para Games 2018 yang hadir di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta. Tak hanya tersohor lewat posenya yang ikonis, berdiri tegap dengan kelengkapan renang, ia juga sukses menyabet medali emas di cabang renang nomor putra gaya punggung S9 10p meter.
Apa kabar Jendi Pangabean saat ini? Lifestyle Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan pria kelahiran 10 Juni 1991 ini di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019.
Senyum ramahnya membuka perbincangan santai sore itu. Rambut Jendi terlihat dicukur agak pendek dan ia tampil kasual dalam balutan kemeja hitam polos, celana jeans, dan Vans old skool sneakers.
Bincang-bincang dibuka dengan kesibukannya saat ini di dunia renang. "Lagi pelatnas di Solo lagi persiapan ASEAN Para Games di Filipina Januari," kata Jendi Pangabean kepada Liputan6.com.
Ia bercerita, latihannya terbagi atas dua sesi yakni pagi dan sore hari. Setiap sesi berlangsung 2--3 jam non stop karena renang main interval. Istirahatnya pun paling lama sekitar 30 detik.
"Karena saya sudah fokus dan spesialis saya di gaya punggung. Nanti di ASEAN Para Games saya ikut lima nomor, tiga nomor individu sama dua estafet," lanjutnya.
Menorehkan prestasi dan pencapaian di kancah internasional tentunya berjalan seiring dengan spirit Jendi untuk terus maju. Disabilitas itu bukan dialaminya sejak lahir. Ia mengalami kecelakaan pada usia 12 tahun dan tak bisa ditampik, momen itu memberi pengaruh besar pada hidupnya.
"Menjadi beban terberat dalam hidup saya, keluarga saya tentunya. Tapi ketika sudah seperti ini, apa yang harus saya bisa menerima diri sendiri ini adalah musibah, takdir tapi bukan berarti nasib mengikuti takdir, jadi kita mengubah itu semua," jawabnya lantang.
Jendi memetik hikmah di balik kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan satu kaki. "Mungkin akan jauh lebih baik ketika seperti ini kita jadi orang yang berguna bagi orang lain dan diri sendiri," kata Jendi.
Kedewasaan Membuka Mata Jendi
Setelah kecelakaan 16 tahun lalu, Jendi Pangabean tak memungkiri ada beban yang dipikul. Meski begitu, ia lantas tersadar harus dewasa menyikapi perjalanan kehidupan.
"Di sana saya berpikir bahwa semakin bertambah usia saya, saya harus semakin dewasa. Apa bakat yang saya miliki saya luapkan ke hal-hal yang positif. Alhamdulillah, di dunia olahraga sampai sekarang," ungkap Jendi.
Langkah Jendi terjun di dunia renang bermula ketika ia duduk di bangku SMA di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Ia diperkenalkan oleh olahraga disabilitas, mengingat telah dibekali bakat di renang.
Jendi pun mencari klub renang di Palembang dan bersyukur dapat ikut bergabung. Salut ketika ia menjadi satu-satunya atlet disabilitas di antara atlet lainnya.
"Teman-teman yang normal enjoy bisa menerima saya jadi partner. Tentu dengan keadaan mereka normal menjadi musuh terberat dalam hidup saya dalam renang, tapi itu juga menjadi motivasi juga buat saya bahwa dengan keadaan seperti ini, keadaan kaki satu, saya bisa bersaing dengan mereka," terangnya.
Jendi pun sempat berbagi semangat untuk para teman-teman atlet penyandang disablitas untuk jangan takut untuk bergerak serta memberi inspirasi untuk orang lain.
"Karena tentu menjadi batu loncatan bagi kita semua, atlet-atlet disabilitas di Indonesia sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Mari kita tunjukkan, walaupun dengan kekurangan yang kita miliki, kita bisa, hak kita sama terhadap apa yang sudah pemerintah berikan ke kita. Memang berat jadi orang disabilitas, tapi kalau kita bisa menerima diri kita sendiri, itu akan jauh lebih baik," ungkapnya.
No comments:
Post a Comment