Liputan6.com, Jakarta - Papan berpelat besi terpasang sekitar 10 meter dari tepi patahan tanah yang menurun akibat bencana likuefaksi Palu yang terjadi pada 28 September 2019. Tertulis imbauan di sana agar warga Kelurahan Petobo, Kelurahan Balaroa, Desa Sibalaya, dan Desa Jono Oge untuk tidak bermukim pada kawasan zona terlarang yang juga disebut warga sebagai zona merah.
Warga terbukti cukup patuh. Sederet bangunan yang terlihat masih baik ditinggalkan pemiliknya. Hanya ada beberapa anjing dan ayam peliharaan warga yang berkeliaran di sekitar rumah. Namun, sebuah warung beratap terpal yang dibuka tak jauh dari kawasan zona merah menarik perhatian.
Tak banyak yang dijajakan di sana. Saat didatangi pada 20 November 2019 lalu, pemilik warung hanya menawarkan mangga gedong, sedikit camilan, dan minuman kemasan. Semua berjejer rapi di atas meja.
Zulmina, seorang perempuan pemilik warung itu mengaku sengaja membukanya demi menyambung hidup sembari mengisi kegiatan lantaran bosan tinggal di hunian sementara (Huntara). Jarak Huntara ke warung itu hanya sekitar satu kilometer.
Ia tak punya banyak pilihan setelah tanah bergerak meluluhlantakkan rumahnya di Kelurahan Petobo, Kota Palu. Likuefaksi itu bahkan menghilangkan nyawa anak perempuannya di depan mata. Jasad anaknya hingga kini tak bisa ditemukan, terkubur di dalam tanah.
"Aku lihat anakku di-blender (disedot masuk ke dalam tanah). Aku tak bisa apa-apa," kata dia kepada Liputan6.com sambil menahan tangis.
Akibat bencana itu, cucu perempuannya kini tak lagi beribu. Zulmina dan sang suami yang kini merawat bocah berusia antara 3--4 tahun itu. Terkadang, anak tersebut ikut menemaninya menjaga warung dari sekitar jam 7 pagi hingga jelang maghrib.
Zulmina mengaku membuka warung di dekat zona merah likuefaksi 28 hari sejak bencana terjadi pada Jumat maghrib. Usaha itu bermodal uang seadanya yang diperoleh dari dana bantuan untuk korban bencana alam. Sementara, bahan dagangan dibelinya dari pasar terdekat.
Nyaris setiap hari ia membuka warung itu lantaran selalu saja ada yang datang ke lokasi tersebut. Banyak yang datang karena penasaran ingin melihat langsung dampak bencana dahsyat itu kepada lingkungan sekitarnya. Mereka kebanyakan berasal dari luar kota, khususnya Jakarta.
"Hari Minggu lebih banyak," ujarnya.
Ruang Terbuka Hijau
Bekas perumahan padat penduduk itu kini tampak menjadi tanah lapang yang mulai ditumbuhi rerumputan dan tanaman hijau. Sementara, puing bangunan yang tersisa dibiarkan begitu saja. Bahkan, benda-benda milik warga yang rusak dibiarkan berantakan di halaman dan dalam rumah.
Berdasarkan laporan dampak bencana gempa, tsunami, likuefaksi dari Pemerintah Sulteng pada 22 Februari 2019 tercatat korban meninggal dunia 2.830 jiwa, hilang 701 jiwa, terkubur massal 1.016 jiwa, total 4.2014 jiwa. Terdeteksi sembilan titik yang mengalami likuefaksi yang tersebar di Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengaku kini sedang fokus pada proses recovery agar masyarakat Palu bangkit kembali. Asisten Sekda 1 Pemprov Sulteng M. Faizal mengatakan prioritas utama adalah membangun hunian tetap bagi seluruh korban bencana, khususnya yang kehilangan tempat tinggal. Pembagiannya, di Palu ada 2.136 rumah, Sigi 1.600 buah, dan Donggala 80 buah.
"Masih ada beberapa bagian masyarakat trauma tentu kita berikan semacam dorongan supaya mereka menjadi tenang. Dengan harapan semakin mereka tenang, semakin recovery dengan cepat," sambung dia.
Lokasi hunian tetap jelas tak akan di zona merah. Namun, ia tak menyebut tempat definitif untuk lokasi hunian tetap tersebut. Sementara, bekas lokasi bencana direncanakan akan dibuat taman alias ruang terbuka hijau.
"Nanti kita bikin itu, cuma kalau mau bikin itu, enggak bisa serta merta. Masyarakat belum semua setuju. Kita perlu musyawarah dengan pemerintah kota, pemerintah desa. Perlu dicari rembuk," ujar Faizal. Sementara itu, bekas lokasi bencana akan dibiarkan begitu saja.
No comments:
Post a Comment